Jumat, 03 Juni 2016

KENAPA RILISAN FISIK ITU PENTING ?

Kenapa rilisan fisik itu penting dan tak tergantikan?

Sama seperti industri lain, persaingan di industri musik juga kompetitif. Barometer keberhasilan seorang musisi emang banyak. Entah itu fans, jadwal manggung atau penjualan album yang laris. Nah, yang disebut terakhir ini adalah salah satu tolak ukur yang biasa dipakai untuk mengukur keberhasilan seorang musisi. Industri musik jaman sekarang jauh berbeda dengan dekade lalu. Seiring dengan berubahnya cara pendengar dalam menikmati musik, dari format fisik ke digital, dan ini bikin penjualan rilisan fisik mengalami penurunan yang signifikan. Tapi kenapa sih, kita sebaiknya membeli rilisan fisik?
mana rilisan favoritmu?
mana rilisan favoritmu?. foto: deathrockstar
Kita runut dari awal ya…
Dulu kalau mau rekaman, harus pakai pita dua inch, biayanya mahal, dan juga harus beli lebih dari satu set kalau bikin album. Pada saat yang bersamaan dengan krisis moneter (krismon), industri musik berevolusi. Krismon bikin biaya produksi lagu jadi sangat mahal, banyak orang pindah dari analog ke digital yang waktu itu memang sudah ada. Pergeseran ini memotong biaya produksi rekaman sekian puluh persen. Di sisi lain juga memunculkan ilusi bahwa peluang buat musisi baru semakin besar. Dari sini, musisi muda Indonesia (banyak diantaranya berasal dari skena musik bawah tanah) semakin berkembang dan menghasilkan banyak band berkualitas dari beragam genre. Semua orang akhirnya punya akses ke produksi, macam mendapat angin segar. Pada saat itu, orang-orang mulai berani bikin label baru, label alternatif, yang pada awalnya dipelopori skena metal dan hardcore punk.
no copy-paste. foto: peachforkstudios.com
no copy-paste. foto: peachforkstudios.com
Hal ini diikuti dengan muncul dan merebaknya akses ke internet, musisi Indonesia yang udah mulai dapat akses ke teknologi produksi, lalu menemukan alternatif baru untuk mensiasati distribusi. Imbasnya besar. Musik dengan berbagai jenis kemudian mulai menemukan pendengarnya masing-masing. Tapi ternyata dibalik terbukanya pintu baru ini muncul masalah lain. Saat batas yang ada di atas (arus utama/mainstream) belum sempat terbuka (banyak band yang pingin bergabung dengan major label) tiba-tiba ada tawaran media baru, internet. Akhirnya lava yang mau naik ini menemukan saluran baru, dan merembes ke sana. Sementara, musik yang ada di lapisan atas tetap yang itu-itu saja. Katakanlah para label alternatif ini mempunyai akses produksi. Tapi ketika bicara distribusi ke khalayak, gatekeeper-nya tetap kapitalis musik yang pada akhirnya menetapkan standar. Misalnya, kalau nggak dapet rekomendasi dari Pay, demo lagunya akan susah didenger oleh bu Acin (Indrawati Widjaja) Musica Studio’s. Yang ‘bagus-bagus’ akhirnya merembes ke saluran yang lain. Kemudian situasi ini terakumulasi. Ternyata ketika semua orang sudah mendapat akses produksi, salurannya tetap mampet.
Souncloud, platform sharing audio favorit saat ini. foto: blog.soundcloud.com
Soundcloud, platform sharing audio favorit saat ini. foto: blog.soundcloud.com
Secara harfiah, sebenarnya nggak ada musik indie. Musik ya musik. Pembedanya adalah segi penciptaan, energi, kebebasan. Independen beda dengan arus utama atau mainstream. Musik mainstream, kebutuhan terbesar yang utama adalah diterima pasar. Tak heran lirik dan musiknya dibuat menjual. Sementara, musik independen sarat kreativitas. Banyak musisi yang setuju kalau bermusik seharusnya menyenangkan dan lepas. Kalau ada pihak lain yang mengintervensi, hasilnya tak akan maksimal. Itu yang kebanyakan terjadi di label mayor.
indie adalah kebebasan berekspresi. foto: fbifm.com
indie adalah kebebasan berekspresi. foto: fbifm.com
Lalu datang polemik berikut, era digital secara enggak langsung juga berpengaruh pada penjualan rilisan fisik. Sadar enggak? Kenapa bisa ada pilihan paket ayam goreng yang menyertakan CD musik? Sebegitu rendahnya kah posisi tawar sebuah karya musik?
Rilisan fisik apapun bentuknya, bersifat krusial bagi musisi independen dalam sejarah skena musik di area masing-masing. Bisa dibilang semacam artefak lah. Kalau kamu suka karya band atau musisi lokal yang memproduksi karya mereka sendiri. Sebaiknya kamu beli rilisan fisiknya daripada mengunduh dengan gratis. Mungkin buat generasi millenial, rilisan musik berbentuk fisik ini mereka kenal lewat orang tua, om, tante dan kakak-kakaknya. Bagi mereka, iPod, iPhone, iPad dan gadget lainnya adalah bentuk rilisan musik dalam bentuk fisik yang umum. Nah, sejak dilangsungkan perayaan Record Store Day sekitar tahun 2008. Sekarang orang-orang kembali ramai mengumpulkan dan melakukan pengarsipan untuk rilisan-rilisan musik dalam bentuk fisik yang bisa dipegang, bukan berbentuk data digital.
Record Store Day East Borneo 2015.
Record Store Day East Borneo 2015.
Kalau dilihat dari musisinya, rilisan fisik adalah statement, suatu karya seni dimana rangkaian komposisi suara berbentuk musik di dokumentasikan. Ada nilai karya ketika musisi memperlihatkan rilisan berbentuk fisik ke khalayak ramai, paling tidak lebih berprestise ketimbang pamer lewat iPod atau malah lewat moment di social media. Bagi si pembeli rilisan fisik, momen unpackaging/unboxing joy (keriangan ketika membuka kemasan pertama kali) adalah sesuatu yang tak ternilai. Menemukan beragam kejutan di dalam kemasan sebuah rilisan fisik. Mulai dari bentuk kemasan yang unik, ilustrasi di inlay/sleeve, booklet, poster, stiker, patch/emblem, dan bahkan tanda tangan atau penomoran resmi dari musisi yang bersangkuitan. Yang tentunya tidak dapat diperoleh kecuali dengan membeli rilisan fisik tersebut.
Kejutan dalam kemasan. foto: saratdusta
Kejutan dalam kemasan. foto: saratdusta
Dari proses sebuah rilisan fisik, band atau musisi independen ini memproduksi dengan banyak enerji, waktu, pikiran dan biaya yang enggak sedikit. Proses sebuah ide yang kemudian pelan-pelan dikeluarkan sampai jadi sebuah lagu tak mudah, dan tak murah juga. Beberapa dari mereka menggunakan uang mereka sendiri secara kolektif dari hasil menabung atau gaji mereka. Bahkan ada musisi yang mengandalkan penjualan album dan merchandise mereka untuk bertahan hidup. Katakanlah, kamu sudah berhasil bikin band, manggung di banyak tempat dan rutin promosi band lewat viral marketing. Tapi biaya yang dikeluarin untuk rekaman, pembuatan album, bayar sound engineer, bikin artwork sampul, transportasi, rehearsal dan lain-lain masih belum sebanding dengan pendapatan dari manggung dan penjualan lagu atau merchandise. Padahal secara kualitas, lagu kamu bagus. Bisa jadi karena minimnya akses ke distributor dan media besar. Selain itu, finansial dan ketersediaan waktu jadi faktor utama hambatan musisi independen. Beberapa kasus, ketidakmampuan mengelola band dengan baik jadi penyebab banyak band yang semula bergerak secara independen kemudian memilih untuk gabung ke label besar dengan konsekuensi meninggalkan sisi idealis mereka.
Masih mau nanya download dimana? foto: FSTVLST
Masih mau nanya download dimana? foto: FSTVLST
Memang ada beberapa musisi yang tetap konsisten di jalur independen. Tapi sedikit diantaranya yang mampu menjadikan bermusik sebagai profesi utama. Berapa banyak orang sih yang bicara lantang kalau musisi blues adalah pekerjaan utama dan direktur adalah sampingan? Sebaliknya, musisi di bawah label besar seolah dieksploitasi dengan produksi yang berlebihan. Label besar punya kontrol penuh untuk menciptakan tren di Indonesia, mereka mampu mengorbitkan artis-artis baru secara instan, yang secara kualitas beberapa diantaranya emang meragukan. Emang sih, peminatnya nggak pernah surut, dan pasti terkenal (walaupun dalam durasi singkat). Ada beberapa faktor yang bikin label besar lebih unggul dari sisi bisnis dan promosi, misalnya distribution clout, marketing dan capital. Tiga hal ini memerlukan biaya yang luar biasa besar.
Beberapa tahun belakangan ini, sebagian orang beranggapan membeli rilisan fisik sebuah album musik kembali bernilai -setelah berlalunya era RBT (Ring Back Tone). Mendengarkan musik dengan media kaset atau vinyl sudah kembali menjadi kegiatan yang ‘sakral’ dalam menikmati musik. Berterimakasihlah kepada Record Store Day dan kampanye sejenis lainnya yang beberapa tahun belakangan giat dilakukan, orang-orang kembali berlomba-lomba untuk mengkoleksi rilisan fisik. Apalagi akhir-akhir ini banyak musisi Nasional yang merilis album dalam bentuk vinyl yang notabene punya prestise “lebih” dibanding kaset atau CD. Meskipun harganya relatif lebih mahal, namun vinyl adalah harta karun bagi para pengkoleksi rilisan fisik.
ketika langka harganya pun meroket. foto: @headquarterstcjkt
ketika langka harganya pun meroket. foto: @headquarterstcjkt
Bagi sebagian orang membeli rilisan fisik juga bisa berarti bertambahnya beban ‘kebutuhan hidup’ yang lain, artinya enggak semua orang mampu dan mau membeli rilisan fisik dari band/musisi yang disukai. Banyak orang yang masih beranggapan, “Kalau ada yang gratis kenapa harus beli?” Semua orang sekarang mudah mendapatkan karya musik secara gratis dari situs-situs file sharing. Entah, apakah ini berlaku juga buat ‘fans fanatik’, ya emang balik lagi ke masing-masing individu, mau beli rilisan fisik dari band/musisi favoritnya atau lebih memilih mengunduh gratis lagu-lagunya di internet.
Membeli rilisan fisik memang hukumnya enggak wajib. Bagi yang mampu saja. Mungkin kamu kurang tertarik dengan rilisan fisik, enggak apa-apa masih ada cara lain untuk mendukung musisi independen kesukaan kamu. Datang langsung ke gig atau konser mereka dan BELI TIKET. Turun ke moshpit, ikut sing-along atau sekedar nonton juga bentuk dukungan langsung terhadap mereka.
habis wal. foto: @omuniuum
habis wal. foto: @omuniuum
Rilisan fisik, terutama vinyl dan kaset, dianggap memberikan ikatan emosional karena memori dan kenangan di dalamnya. Ada yang bilang, bagi orang-orang yang percaya bahwa hidup dan sejarah tidak berjalan linear tapi merupakan sebuah siklus. Mencintai vinyl, kaset dan segala macam high maintenance cost yang ditimbulkan adalah serupa mencintai hidup dengan segala ketidakteraturan dan ketidaksempurnaannya. Mereka serupa pacar yang abusive, merepotkan tapi terlalu kita cintai untuk dilepaskan.

Sumber : http://undas.co/2015/09/kenapa-rilisan-fisik-itu-penting-dan-tak-tergantikan/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar